Related Post

Sabtu, 04 Agustus 2012

TUJUH HARI MASA BERKABUNG

Memasuki hari ke 7 wafatnya papah kami (24 Juli 2012) segala persiapan untuk acara telah dipersiapkan dengan matang. Acara pelepasan arwah di hari ke tujuh setelah sepeninggal bukanlah sembarang upacara bagi kami warga keturunan Tionghoa. Tradisi ini merupakan Acara yang kental dengan unsur budaya.Tradisi ini sangat menuntut agar anak-anaknya senantiasa menghormati orangtua. Tradisi ini sebenarnya wajar dilakukan jikalau orangtua yang dimaksud masih hidup. Yang menjadi tidak wajar adalah tatkala orang tersebut sudah matipun harus dihormati dan diangap seakan-akan masih hidup. Yang dimaksud dengan menghormati orangtua yang sudah mati adalah dengan cara menjalankan kewajiban memberikan mereka kurban dan makanan. Atau ada juga yang mengirimkan mereka rumah, pakaian, uang, mobil, computer (laptop) dan sebagainya.. Sayangnya, upacara tradisional ini sudah hampir punah karena modernisasi, ekonomi, dan lingkungan. Tidak ubahnya dengan sebuah tradisi kekeluargaan di Indonesia, lambat laun akan hilang dengan sendirinya jikalau kita tidak memperhatikan atau merawatnya.

"Saya tidak tahu orang yang bagaimanakah disebut sebagai seorang budiman. akan tetapi orang yang selalu mau berkorban itulah sebagai seorang budiman. sayapun tidak tahu bagaimanakah disebut orang yang berjiwa kerdil. tapi orang yang selalu ingin enak sendiri dan tidak memperdulikan orang lain itulah orang yang jiwanya kerdil".

Menurut kepercayaan adat Tionghwa menyatakan bahwa tujuh hari setelah kematian salah satu anggota keluarga, jiwa yang meninggal akan kembali ke rumah mereka. Mungkin ini juga berlaku pada kepercayaan-kepercayaan lain. Pada hari kembalinya arwah , anggota keluarga diharapkan untuk tetap tinggal di rumah, hal ini dimaksudkan agar arwah tidak tersesat kembali kerumah. Namun tradisi ini sudah lenyap, bahkan saya tidak pernah menjumpai tradisi seperti ini lagi.

Kami sebagai masyarakat keturunan Tionghwa percaya bahwa dalam setahun selama 3 bahkan 40 hari arwah nenek moyang yang telah meninggal akan datang menengok keluarga yang mereka tinggalkan.
Pada Saat berlangsungnya upacara sembahyang,setiap anggota keluarga berjalan bergantian menuju altar dan membakar dupa dan berdoa sampai melewati tengah malam

Kertas dibakar dalam mangkuk yang telah diisi beras dan arak diatas meja altar, setelah itu para anggota keluarga akan berjalan keluar rumah secara beriringan. Kepala keluarga dalam hal ini kakak tertua berjalan paling depan. Kemudian sesampai didepan pintu diikuti anggota keluarga lainnya ia akan memohon doa kepada Tuhan bahwa bhakti anak telah usai melepas kepergian almarhum. Setelah acara doa selesai, acara dilanjutkan dengan membakar rumah-rumahan sebagai lambang dari bhakti anak terhadap orang tua, harapan, dan permintaan perlindungan kepada leluhur.

"Bila hatimu gelap apa gunanya memasang lampu? Bila hatimu tidak adil apa gunanya  (berdoa dengan membaca kitab suci)".

0 komentar:

Posting Komentar